Senin, 23 Mei 2016

SEJARAH MAKAM BUJUK CORA DI KOTA PROBOLINGGO

SEJARAH BUJUK CORA  DI KOTA PROBOLINGGO
PADEPOKAN 22 ( D-LEKKOR )
Kota Probolinggo terkenal dengan sebutan kota BAYUANGGA sebagai kepanjangan dari kota angin ( bayu ), kota anggur dan kota mangga. Di musim kemarau setiap bulan Juli hingga September bertiup angin ( bayu ) kencang yang disebut angin gending. Komoditas unggulan sektor perkebunan dari Kota Probolinggo adalah anggur dan mangga.
Kota Probolinggo secara geografis terletak antara 113 13 – 113 15 bujur timur dan 7 43 41 – 7 49 04 lintang selatan. Wilayah Kota Probolinggo di sebelah utara berbatasan dengan selat Madura, sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo dan sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Leces kota Probolinggo. Luas wilayah kota Probolinggo 25,24 Km2 terbagi dalam 5 kecamatan dan 29 kelurahan yang terdiri dari Kecamatan Mayangan terdapat 5 kelurahan, Kecamatan Kademangan terdapat 6 kelurahan, Kecamatan Wonoasih terdapat 6 kelurahan, Kecamatan Kedopok terdapat 6 Kelurahan dan Kecamatan Kanigaran terdapat 6 Kelurahan ( salah satunya Kelurahan Curah Grinting ).
Berbicara mengenai Curah Grinting, selalu berhubungan erat dengan salah satu tokoh pendatang dari Madura, yang bernama Kyai Abdul Basir bin Abdul Hadi atau Bujuk Cora ( sebutan yang popular dalam masyarakat curah grinting ). Menurut sumber lisan Bujuk Cora lahir sekitar akhir abad 18 masehi. Jika dilihat dari silsilahnya, Bujuk Cora memiliki ikatan darah dengan kerajaan Madura seperti di Sumenep, namun pilihan hidup beliau memilih keluar dari lingkaran kekuasaan darah biru untuk berkelana.
Menurut sumber yang dikutip dari buku “ Kumpulan Silsilah Bangsawan Sumenep Madura“, dapat terlihat bahwa Bujuk Cora memeliki ikatan dengan sunan Ampel, Maulana Ali Murtadho dari Gresik dan Snan Giri. Dengan urutan sebagai berikut:
Silsilah bujuk Cora dari Sunan Ampel:
-          Siti Syarifah Ratu Panggung ( Istri raden Patah Sultan Demak I )
-          R.Tumenggung Kanduruan
-          Pangeran Wetan
-          Pangeran Cakranegara I + Dewi Susila
-          Kyai Abdul QIdam + Nyai Dewi Asri
-          Kyai Abdul Hadi
-          Kyai Abdul Basir ( Bujuk Cora )
            Silsilah bujuk Cora dari Maulana Ali Murtadho Pandita Gresik:
-          Maulana Usman Haji + Nyai Gedi Maloka ( Putri Sunan Ampel )
-          Sunan Ngundung + Nyai Gedi Manyurat
-          Sunan Kudus
-          Pangeran Pakaos
-          Pangeran katandur
-          Hatip Paranggan
-          Nyai Purnama + Paneran Bukalu
-          Kyai Andasmana
-          Kyai Rahwono
-          Kyai Kumbasari
-          Kyai Abdul Rohim Sendir
-          Kyai Abdullah + Nyai Sosor Sendir
-          Nyai Dewi Asri + Kyai Abdul Qidam
-          Kyai Abdul Hadi
-          Kyai Abdul Basir ( Bujuk Cora )
Silsilah bujuk Cora dari Sunan Giri:
-          Panembahan Kulon
-          Nyai Gadi Kintil + Pangeran Mandaraga
-          Pangeran Baragung
-          Endang Kelengen
-          Walung Rawit ( Saradiningrat I ) + Dewi Sarina ( Putri dari Pangeran Bukabu )
-          Dewi Saini ( Potri Koning ) + Pangeran Adipoday
-          Pangeran Djoko Tole
-          Raden Ariyo Wigonondo
-          Dewi Roro Komnyo + Pangeran Sidingpuri
-          R.Ayu Pangiran + Pangeran Batu Putih
-          Dewi Ssusila + Pangeran Cakranegara I
-          Kyai Abdul Qidam + Nyai Dewi Asri
-          Kyai Abdul Hadi
-          Kyai Abdul Basir ( Bujuk Cora )

Menurut Dhani Prasetya salah satu keturunan bani Cora mengisahkan dalam buku “Menelusuri Jejak Kiai Cora “ : Dikisahkan, mula-mula, terdapat sebuah desa yang mengalami musibah dan cobaan. Musibah tersebut adalah berupa kemarau yang berkepanjangan. Hujan tidak datang membasahi bumi dalam waktu yang cukup lama. Sehingga bisa dipastikan yang terjadi adalah bencana kelaparan di mana-mana, tumbuhan kering kerontang dan tiada air yang mengalir. Sawah pertanian,  ladang dan hutan kekeringan. Masyarakat sudah tidak ke sawah lagi karena tidak ada benih yang biasa ditanam dan lahan tidak bisa digarap lagi.
Bersama dengan itu terjadi degradasi moral di masyarakat desa seperti perampokan, pemerkosaan, pencurian serta kejahatan-kejahatan lainnya sehingga bisa dikatakan kondisi desa pada waktu itu itu sangat memprihatinkan. Krisis ekonomi melanda seluruh desa dan masyarakat terancam paceklik baik dari segi ekonomi maupun dari segi moral.
Pada suasana yang genting dan mengkhawatirkan ini, terbitlah fajar pencerahan dan harapan akan adanya perbaikan. Muncullah kehadiran seorang ulama yang bernama kyai Abdul Basir bin Abdul Hadi yang telah selesai mendalami ilmu agama. Beliau hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai pembawa si’ar islam dan datang melalui pendekatan moral dan agama, serta mencoba membantu dan bermunajat kepada Allah agar dapat terselesaikan permasalahan yang dialami masyarakat desa.
Kyai Abdul Basir bin Abdul Hadi konon kemudian bertapa diatas batu berbentuk empat persegi panjang ( sekarang batu tersebut diangkat dari sungai dan kemudian diletakkan dimakam keluarga ). Beliau berdoa dengan sungguh-sungguh, menyatukan segenap jiwa dan raganya dalam satu titik kebesaran sang Khalik demi momohon kepadaNYA agar rakyat desa segera keluar dari masa paceklik yang panjang ini. Setelah beberapa selang waktu kemudian disekitar batu yang dibuat bertapa oleh beliau muncullah sumber air yang keluar sampai menjadi sungai yang besar ( bahasa Madura: Cora ). Di sekeliling sungai tersebut tumbuhlah tanaman air yang berupa rumput-rumput air yang memanjang ( bahasa Madura: Grinting ). Dengan kejadian tersebut maka desa tersebut diberi nama Curah Grinting. Keajaiban ini menyebabkan mayarakat lalu menyebut Kyai Abdul Basir bin Abdul Hadi mempunya julukan Kyai Cora atau mbah Cora ( dalam bahasa Madura: Bujuk Cora ).

Kyai Cora atau Bujuk Cora merupakan sosok yang selalu mengamalkan berbagai ajaran  Rosulullah secara kaffah dan memberikan teladan kepada masyarakat, begitu informasi yang telah didapat dari keturunan Bujuk Cora. Bujuk Cora juga menjalani kehidupan tasawuf dalam kehidupan batiniyahnya, yang selalu menata hatinya agar bersifat qona’ah. Menjaga hati dari sifat tercela seperti hasud, sombong, dengki, riya’ dan sifat jahat lainnya. Ketika hati bersih pikiran dan tindakan akan terpengaruh dalam mengambil setiap tindakan. Bujuk Cora selalu santun dan menebar senyum ketika bertemu dengan siapapun, sehingga menyenangkan bagi setiap orang yang memandangnya.

Dari penelusuran jejak Bujuk Cora, beliau selalu memberikan wejangan-wejangan dan memberikan warisan spiritual yang perlu dipelajari secara mendalam. Bujuk Cora  melakukan hijrah untuk membangun masyarakat. Hijrah beliau tidak hanya bermakna geografis tetapi juga sangat spiritual. Sebagai keturunan bendoro beliau sebenarnya bisa tetap hidup di tanah Madura dalam kemewahan duniawi sebagai seorang kerabat penguasa yang penuh sanjungan. Namun pada kenyataannya Bujuk Cora memilih berhijrah dari tempat asalnya yang damai menuju tempat baru yang belum sepenuhnya beliau kenali, bahkan belum pernah didatangi. Dalam perjalanan panjangnya bujuk Cora tidak membawa harta kekayaan yang melimpah melain semangat dan cita-cita mulia yang berpedoman pada Al-Quran. Perjalanan panjang Bujuk Cora menghantarkannya kepada suatu tempat yang sekarang bernama desa Curah Grinting, Probolinggo.




 






















  

9 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Semangat... untuk melestarikan Kota Probolinggo tercinta.... n buat kota lain harus lebih semangat..

    BalasHapus
  3. Ini Pondok Pesantren Kyai Cora dekat bangunan atau tempat apa, ya? (Misal: sekolah, toko atau yg lain). Karena saya mencari di google map tidak ada padahal ingin sekali mengunjunginya 😟🙏🏻

    BalasHapus
  4. Ini Pondok Pesantren Kyai Cora dekat bangunan atau tempat apa, ya? (Misal: sekolah, toko atau yg lain). Karena saya mencari di google map tidak ada padahal ingin sekali mengunjunginya 😟🙏🏻

    BalasHapus