Senin, 23 Mei 2016

TERBANG GENDINGAN

Berbicara kesenian di wilayah kabupaten Probolinggo, kita tidak bisa lepas dari sesosok tokoh Suparmo dengan kesenian Glipang dan Terbang Gendingnya. Fenomena Glipang dan Terbang Gending memiliki bentuk yang khas. Hingga kini kesenian Glipang dan Terbang Gending seakan telah menjadi icon masyarakat Probolinggo. Namun demikian kehadiran kesenian ini tidak hadir begitu saja. Menurut sejarah tahun 1912 kesenian ini berasal dari tindakan Sari Truno, seorang remaja Madura yang melakukan migrasi ke Probolinggo. Aris Setiawan, Dosen Seni Karawitan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dalam tulisannya mengisahkan  bahwa:
“Tahun 1912 Sari Truno, remaja Madura melakukan migrasi ke daerah Probolinggo dan menetap di Desa Pendil. Mendapatkan pekerjaan sebagai mandor tebang tebu pada pabrik gula Kecamatan Gending Probolinggo di bawah kepemilikan Belanda. Karena watak orang Madura yang terkenal “tempramen”, “kasar”, serta “pantang diperintah”, Sari Truno sering kali melakukan pemberontakan dan tidak jarang pula terjadi konflik dengan tentara Belanda yang dianggapnya sewenang-wenang.
Menurut Yuni Rusdiyanti (1994:83 “Kesenian Glipang Desa Pendil Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Dati II Probolinggo” Skripsi S-1 FPBS Seni Tari IKIP Surabaya. 1994) karena ketidakpuasan Sari Truno, ia dengan beberapa orang masyarakat desa Pendil membentuk sebuah perkumpulan pencak silat dengan tujuan menyusun kekuatan melawan Belanda. Agar pemerintah Belanda tidak semakin curiga, Sari Truno memiliki inisiatif menciptakan musik untuk mengiringi kegiatan pencak silat yang ia lakukan bersama komplotannya. Akhirnya terciptalah musik yang disebut sebagai musik Gholiban.
Menurut Yuni Rusdiyanti (1994:84) Gholiban berasal dari kata Arab yang berarti sebuah kebiasaan, dimaksudkan sebagai ketidaksukaan Sari Truno terhadap kebiasaan-kebiasaan penjajah Belanda yang bertindak sewenang-wenang pada masyarakat pribumi. Karena pengaruh dari dialek orang Jawa, kata Gholiban berubah menjadi Glipang, yang pada akhirnya juga sebagai embrio lahirnya terbang gending”. (artikel, Aris, “Glipang dan Terbang Gending Wujud Seni Islam Lahir dari Kontradiksi Kolonial dan Gamelan Jawa”, 2010 ).

Menurut Dzul Kasan (Pak Sastro) (83th), seorang pimpinan kelompok Terbang Gendingan “Tunas Muda”, yang berdomisili di dusun Krajan, desa Maron kulon tepatnya RT 03, RW 01 Kecamatan Maron Kabupaten Probolinggo, mengatakan bahwa kesenian Terbang Gending digeluti oleh mertuanya yang bernama Haji Arip sejak tahun 1925 yang saat itu dikenal dengan istilah Kladhinan. Menurut pengakuannya selanjutnya pada tahun 1958, kelompok ini diserahkan kepadanya dengan sebutan kelompok Terbang Gendingan. Kegiatan kelompok ini dilakukannya hingga sekarang.
Lahirnya Glipang atau juga Terbang Gending ini juga tidak terlepas dari adanya fenomena masyarakat Probolinggo yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Aris juga menyebutkan bahwa, “Bagi masyarakat Desa Pendil Probolinggo, Stereotip negatif yang ada pada istrumen gamelan masih sangat lekat hingga saat ini. Masyarakat Probolinggo yang mayoritas beragama Islam menganggap bahwa di mana ada gamelan pasti terdapat adanya prostitusi. Karena itu, dengan glipang dan terbang gendinglah Soeparmo dan masyarakat mengekspresikan wujud seninya”.
Pendapat ini juga sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh Marisin (75th), seniman Glipang dan Terbang Gending kelompok Pelita Harapan, desa Kedungsari, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo. Marisin mengutarakan bahwa dahulu terbang gending ini dikenal dengan sebutan Terbang Kladhinan yang berikutnya menjadi kesenian Glipang. Seniman-seniman Probolinggo pada waktu itu banyak juga yang menyukai gamelan Jawa, namun demikian gamelan Jawa menjadi sorotan negatif dan disebutnya sebagai kesenian haram. Oleh karenanya kelompok pecinta gending-gending gamelan Jawa berupaya menyajikan gending-gending dimaksud lewat Terbang Kladhinan tersebut yang selanjutnya kesenian terbang ini dikenal dengan sebutan Terbang Gending. Salah satu upaya yang paling utama dilakukan adalah upaya melaras terbang untuk didekatkan dengan  laras gamelan (wawancara: Marisin, 4 Juli 2013). Disebut Terbang Gending karena “Terbang yang bisa a gending”, (terbang yang bisa menyajikan gending). “Karena gamelan diharamkan, maka yang senang dengan gending-gending menyajikannya terbang menjadi terbang gendingan” (Marisin).
            Terbang Gending yang berkembang saat ini memiliki berbagai ricikan yang konon tidak jauh berbeda dengan ricikan yang ada pada gamelan Jawa, artinya menyikapi sejarah lahirnya terbang gending dengan upaya memasukan gending-gending yang ada pada gamelan Jawa maka pelarasan terbang-terbang itu dilakukan dan tentu saja dengan keterbatasan yang ada, yaitu hanya bisa disajikan dengan menggunakan laras slendro yang konon berkiblat pada sajian seni tayub yang berkembang di wilayah Lumajang, Probolinggo dan sekitarnya yang banyak menyajikan gending-gending laras slendro. Dari upaya dimaksud akhirnya terciptalah ricikan-ricikan terbang sebagai berikut, (Wawancara: Dzul Kasan (83th) dan Sucipto (65th):
  1. Kendang (terbang yang berfungsi sebagai kendang gending).
  2. Jidor
  3. Terbang Suwuk (pethet gedhe/belakang)) (dalam gamelan Jawa: kempul).
  4. Terbang Tenggok (bonang)
  5. Terbang Sanga (nada sanga)
  6. Terbang Lema (nada lima)
  7. Terbang Nem (nada nem)
  8. Terbang Pethet (pethet muka) (nada tertinggi)
  9. Terbang Penerus (bonang penerus)
  10. Cerr
  11. Terompet
Dari masing-masing ricikan ini disajikan oleh satu orang, artinya satu orang memegang satu ricikan/instrument (tidak bisa merangkap).
Contoh terbang yang berperan sebagai kendang:

Suraji & Terbang Kendangnya
Foto: Ulil, 6 Juli 2
  


Di Probolinggo ada beberapa kelompok terbang gending, misalnya di desa Kedungsari kecamatan Maron; Desa Pendil kecamatan Banyuanyar dan desa Maron Kulon,  Kecamatan Maron. Menurut Sucipto (wawancara: 4 Juli 2013), kelompok-kelompok terbang gending yang ada di  Probolinggo ini sudah tidak begitu eksis. Dari masing-masing kelompok tidak memiliki pemain yang komplit. Ketika hendak menyajikan sajian terbang gending mereka selalu pinjam pemain dari kelompok yang lain bahkan kegiatannya pun bisa dikatakan tidak pernah atau sudah mendekati punah. Sangat sulit untuk mencari generasi penerusnya, perhatikan saja usia pemain terbang gending yang ada sekarang ini. Mereka rata-rata berusia 50 tahun ke atas. Pada kelompok terbang gendingan “Tunas Muda” desa Maron Kulon, Kecamatan Maron ini, memiliki pemain dengan usia 55 tahun ke atas. Ketika hendak melakukan kegiatan untuk pemain seronennya pinjam dari kelompok “Pelita Harapan” desa Kedungsari.

Kesenian terbang gending di Maron kulon ini disajikan pada orang-orang yang punya hajatan (Temanten, Khitanan dan sebagainya), dengan menyajikan berbagai gending-gending, seperti Walang Kékék, Dril, Jula-Juli, Jamong, Puspa dan lain-lain. Namun demikian kegiatan itu pun sekarang sudah jarang. Mereka lebih banyak menyukai orkes, yang menurut mereka orkes lebih bergengsi daripada terbang gending. Kegiatan rutin yang sekarang banyak dilakukan oleh kelompok ini adalah “arisan”. Arisan dimaksud dilakukan oleh antar anggotanya, mereka bermain bergantian di kediaman anggotanya yang biasanya berlangsung mulai jam 7 malam hingga 12 malam. Melihat kondisi semacam ini kiranya kita perlu memperhatikan sejauh mana peran kesenian terbang gending ini dalam dunia seni tradisi, dan apa seharusnya tindakan kita terhadap kesenian dimaksud. 

2 komentar: